Oleh: Prof Henri Subiakto *) Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)
JAKARTA, kontenborneo.com – Manuver politik terkait agenda reformasi Polri menjadi sorotan publik. Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menunjukkan langkah cepat yang terkesan berbeda arah. Hal ini mencerminkan dinamika kekuasaan yang kompleks di awal pemerintahan Prabowo.
Prabowo Tunjuk Jenderal Dofiri, Bentuk Komite Reformasi, Sebagai respons atas tuntutan publik pasca-demonstrasi besar pada Agustus 2025, Presiden Prabowo mengambil langkah strategis untuk mereformasi institusi Polri. Ia menunjuk Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) serta Reformasi Kepolisian.
Sebelum dilantik, Dofiri yang merupakan mantan Wakapolri dan dikenal tegas dalam menangani kasus Ferdy Sambo, telah dianugerahi pangkat istimewa Jenderal Polisi Kehormatan (bintang empat). Langkah ini, menurut Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Prof. Henri Subiakto, menjadi sinyal kuat bahwa Prabowo ingin mengendalikan agenda reformasi langsung dari Istana.
“Penunjukan Dofiri, figur kredibel dari internal Polri yang dihormati karena integritasnya, bisa dibaca sebagai sikap politik yang memilih loyalis di luar loyalis Listyo,” ujar Prof. Henri Subiakto, yang juga merupakan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).
Penunjukan ini disertai rencana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian di level presiden, yang akan melibatkan tokoh eksternal seperti mantan Menko Polhukam Mahfud MD, untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh.
Kapolri Bentuk Tim Internal, Langkah Proaktif atau Defensif, Secara mengejutkan, pada hari yang sama dengan penunjukan Dofiri, Kapolri Jenderal Listyo Sigit merespons dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri secara internal. Tim ini, yang diketuai oleh Komjen Chryshnanda Dwilaksana, terdiri dari 52 perwira dan Listyo Sigit sendiri bertindak sebagai pelindung.
Peristiwa ini menimbulkan interpretasi ganda. Di satu sisi, langkah Kapolri ini bisa dilihat sebagai upaya proaktif Polri untuk berbenah diri. Namun, menurut Prof. Henri Subiakto, pembentukan tim internal yang begitu besar juga dapat diartikan sebagai upaya defensif.
“Ini adalah upaya para pimpinan Polri di bawah Jenderal Listyo Sigit untuk mencegah agar reformasi dari presiden tidak ‘mengganggu’ struktur hierarki para petinggi Polri yang sudah cukup lama disiapkan dan dibina Listyo Sigit,” jelas Prof. Henri.
Reformasi Polri ini muncul setelah Pemilu 2024 yang menyisakan kesan kuatnya peran polisi dalam politik, serta dari stigma penanganan demo yang represif. Perkembangan dua tim ini menjadi sorotan utama dalam politik nasional. Apakah akan terjalin sinergi, atau keduanya akan berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang berbeda? Publik kini menantikan langkah apa yang akan diambil Presiden dan bagaimana perkembangan kedua tim dalam beberapa minggu ke depan.(red/kontenborneo.com/real)